Rabu, 14 Agustus 2013

LEBARAN KETIGAKU - Event LeutikaPrio

Diposting oleh Sischa Rinnanda Wibandari di Rabu, Agustus 14, 2013

LEBARAN KETIGAKU

Ini kali ketigaku berlebaran meski usiaku sekarang menginjak 25 tahun. Ya, aku seorang muallaf. Tepatnya tiga tahun lalu setelah lebaran. Tak perlu tahu kenapa karena di sini aku tak bercerita tentang itu tapi aku akan bercerita tentang lebaranku-setelah menjadi muslim tentunya. Keputusanku menjadi seorang muallaf tak diketahui oleh banyak saudara terutama saudara jauh. Hanya keluargaku dan saudara dekat serta sahabat-sahabatku.

Sebenarnya tak ada yang berbeda dari lebaran sebelumnya. Sama, selesai sholat ied berbondong-bondong bersalam-salaman dengan para tetanggga. Biasanya beberapa tetangga sudah berdiri di depan rumah masing-masing menyambut uluran tangan tetangga yang lain. Sedangkan yang lain berkeliling dan aku salah satunya. Selesai bersalaman dari ujung gang kembali ke ujung lagi. Jalan menjadi sepi. Mereka pergi ke sanak saudara.

Sedikit siang, saudara-saudaraku datang ke rumah. Mereka membawa pasukan anak kecil. Ramai sekali. Kakak sepupuku-Ruth-yang tahun lalu hanya menggandeng Nabila, anaknya, sekarang juga menggendong Dea, adik Nabila. Di susul dua kurcaci lainnya, Putri dan Ayu, anak dari kakak sepupuku juga-Yani. Tak ketinggalan Andreas, kakak sepupuku yang tertua dan laki-laki satu-satunya ditemani ibu mereka yang tak lain adalah budheku.

Suara bising tak terelakkan. Canda tawa memenuhi ruang tamu yang sempit. Makanan berhamburan di meja. Minum-minuman berjejer di depan masing-masing. Belum lagi mainan anak kecil yang menghiasi lantai rumah. Seru. 

Di sela-sela perbincangan mulai timbul slentingan pertanyaan yang tiap tahun hanya itu yang terlontar. Apa tak ada pertanyaan lainnya, pikirku. Aku tahu usiaku sudah 25 tahun. Lalu apa salahnya? Saat aku sedang menggendong Dea, pertanyaan itu mencuat.

“Sis, sudah pantas kamu punya anak. Kapan nikah?”

Kapan nikah? Ah, pertanyaan itu lagi. Calon saja aku belum punya, eh malah ditanya kapan nikah. Tapi kali ini aku sudah punya jawaban pamungkas. Aku punya alasan kenapa aku belum menikah. Tidak seperti tahun-tahun lalu, yang hanya aku respon dengan senyuman. Kerja bukanlah jawaban yang pas waktu itu. Apalagi mengejar karir yang sudah jelas pekerjaanku hanya begitu-begitu saja, sebagai admin, mana bisa berkarir ditambah aku yang cuma lulusan SMA. Perusahaan tempatku bekerja juga bukan perusahaan besar.

“Nanti setelah lulus kuliah”.

Sepertinya jawabanku memuaskan mereka karena tak ada balasan dari mereka. Ah, untunglah tak diperpanjang persoalan ini. Aku merasa menang kali ini. Paling tidak untuk tahun ini. Aku sendiri tak tahu pasti apa nanti setelah lulus kuliah langsung menikah atau tidak. Kita lihat saja nanti.

Setelah agak lama bercengkrama, kami memutuskan berkunjung ke rumah Mita, adik sepupuku, sekalian menengok bayi kecil. Ya, Mita baru saja melahirkan. Nama anaknya Fatah Yuli Romadhon, usianya masih terbilang mingguan. Rumahnya tak jauh dari rumahku hanya beda beberapa rumah saja dan cukup dengan berjalan kaki.

Sesampainya di sana, kami awali dengan bersalaman meminta maaf dilanjut dengan obrolan. Karena ada bayi kecil si Fatah maka obroloan pun berpusat mengenai Fatah. Lagi-lagi aku terkena sindiran dan tak jauh-jauh dari status lajangku. Hm, aku hanya bisa menghela napas. Kenapa orang tua pembicaraannya selalu mengarah ke situ sih, umpatku dalam hati. 

“Sebentar lagi Sischa nih yang nyusul punya anak.”

Woi, punya anak darimana. Bapaknya saja belum dapat. Tapi sudahlah, aku aminkan saja. Anggap ini doa baik dari para tetua. Aku membalasnya dengan senyuman kecil. Lalu aku pikir aku punya sasaran empuk untuk membalas sindiran tadi. Di sebelahku duduk mas Andreas. Dia sasaranku.
“Mas Andreas tuh yang sudah tua buruan nikah.”

Kena kau. Hahaha. Cubitan kecil mendarat di pahaku. Sakit tapi aku malah tertawa. Tertawa melihat ekspresi mas Andreas yang wajahnya mulai merah merona karena malu.

Matahari mulai memanas. Tampak wajah-wajah lelah dari kami. Kantuk pun mulai menjalar. Saudara-saudaraku berpamitan pulang. Rumah kembali lenggang. Waktunya istirahat sejenak.

Sore hari silahturahmi berlanjut ke rumah pakdhe. Tak jauh, masih di daerah situ juga. Jalanan masih sepi. Rumah-rumah banyak yang tertutup. Mungkin mereka sedang mudik. Senangnya mereka bisa mudik yang sedikit membuatku iri. Aku tak punya desa sebagai tujuan mudik. Andai saja nanti aku punya suami yang berasal dari ‘daerah’ mungkin aku bisa mudik, khayalku.

Di rumah pakdhe, ada sedikit keterkejutan dari raut wajah mereka. Di benak mereka pasti timbul banyak pertanyaan atas perubahan yang mereka lihat dari diriku. Sepertinya mereka memperhatikanku dari atas sampai ke bawah. Tentu sudah kuduga atas keheranan mereka. Keluarga pakdhe tak tahu kalau selama ini aku seorang muallaf. Keluargaku juga tak pernah menutupinya tapi juga tak pernah menyinggung masalah ini.

Meski dulu aku bukan seorang muslim tapi keluargaku juga melakukan ritual ujung-unjung ke rumah saudara. Saudara-saudara dari bapak atau pun ibu berbeda-beda agama dan saling menghormati agama masing-masing. Jadi keluarga pakdhe tak mengira kalau aku sudah menjadi muallaf. Dari kerudung yang aku pakailah mereka sekarang tahu.

Tak ada pertanyaan untukku karena pertanyaan-pertanyaan itu lebih di tujukan pada ibuku dan ibuku yang menjawab perubahan atas diriku. Aku memang pendiam. Mungkin itu yang membuat mereka sungkan  bertanya padaku. Hanya kata, “Loh kamu sekarang Islam”, saat pertama kali aku masuk.

Suasana pun kembali mencair. Obrolan-obrolan orang dewasa yang mendominasi sedangkan aku hanya sesekali nimbrung, itu juga kalau ditanya. Sampai malam menjelang, aku sekeluarga pamit pulang. Akhir silahturahmi.

Sebagai seorang muslim yang baru ritual berlebaran bukan hal yang baru bagiku. Ibadahnya lah yang menjadikan beda. Kalau dulu tak puasa sekarang puasa, kalau dulu tak sholat sekarang sholat. Aku senang menjadi seorang muslimah. Dan keputusanku berhijab.

Berhubung masih terasa kental aroma berlebaran. Tak ada salahnya kan, kalau aku mengucapkan, “Selamat Idul Fitri 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin, ya. Bila ada kata-kata tak megenakkan dalam cerita.”

“Tulisan ini diikutkan dalam TjeritaHari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.”

0 komentar:

 

SisChaYanK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea