
Kita tak akan tahu kapan cinta itu datang dan kepada siapa cinta itu berlabuh.
“Hay! Ngelamun ajah
kamu, Riz.” Sapaku pada Fariz yang sedari tadi aku lihat bengong terus. Entah
apa yang sedang dia pikirkan. Tapi Fariz bukannya jawab tapi malah tetap sama
kebengongannya dan terus memandang ke satu arah.
“Yee ..., nih anak
ditanya malah diam ajah. Lagi ngeliatain apaan sih?” tanyaku lagi sambil
memperhatikan apa yang sedang Fariz lihat.
Sejenak aku ikut terdiam melihat apa yang dari tadi Fariz perhatikan. Tubuhku
terasa lemas. Aku pun tertunduk lesu.
“Jadi ..., karena itu Fariz ....” Tak sanggup lagi aku menerka-nerka apa
yang sedang dipikirkan Fariz. Sakit.
***
Bel tanda pulang
berbunyi. Murid-murid mulai berhamburan keluar kelas tak terkecuali denganku.
Tapi kali ini sebelum pulang, aku dan Fariz sudah berjanji bertemu di gerbang
sekolah untuk pergi bersama ke toko buku. Seminggu yang lalu Fraiz sudah janji
padaku kalau hari ini dia akan menemaniku ke toko buku membeli novel terbaru.
Terik matahari sudah
berada tepat di atas kepala, aku mulai kepanasan meski di sekitar sekolah
banyak pepohonan tetap saja udara terasa panas. Gerah. Tak terhitung berapa
tetes keringat yang sudah keluar dari tubuhku membuat sebagian bajuku basah.
“Kemana sih Fariz? Kok
dari tadi gak nongol?”
Seribu detik aku
menunggu penampakan wajah Fariz tapi belum ada tanda-tanda dia muncul. Aku jadi
gelisah. Berkali-kali aku mengurungkan niatku untuk menelepon Fariz karena aku
yakin dia pasti datang. Satu menit, dua menit, lima menit sampai sepuluh menit
Fariz belum juga datang. Lebih baik aku tanyakan saja pada temannya. Kebetulan
ada teman sekelas Fariz yang sedang lewat.
“Rom, kamu lihat
Fariz?”
“Loh, bukannya dia
sudah pulang ya. Kamu kan sahabatnya masa gak tahu sih. Bukannya kalian selalu
sama-sama?”
Romi tampak kaget
dengan pertanyaanku yang seharusnya aku lebih tahu dimana Fariz sekarang. Tapi
aku lebih kaget lagi. “Fariz pulang lebih dulu dan dia gak kasih tahu aku
sebelumnya. Bukannya dia sudah janji padaku?”
Belum sempat aku
memjawab, Romi sudah melanjutkan kata-katanya.
“Tadi habis bel pulang,
dia buru-buru keluar. Aku tanya katanya dia ada janji makanya buru-buru banget.
Aku kira janji sama kamu.”
“Ya sudah ya, aku mau
pulang dulu nih.” Pamit Romi.
Romi berlalu begitu
saja meningglkanku yang masih mematung dihinggapi beratus pertanyaan tentang
keanehan Fariz. “Fariz memang ada janji. Dia janji padaku tapi ..., dia tak ada
di sini. Lalu dia janji pada siapa?” hatiku berulang kali menanyakan itu padaku
dan aku sendiri tak tahu jawabannya.
Ini kali pertama Fariz
melupakan janjinya padaku. Selama dua tahun bersahabat dengannya, belum pernah
Fariz ingkar janji bahkan sampai meninggalkanku sendirian di depan gerbang
tanpa mengabariku terlebih dahulu. Tak terasa titik-titik air membasahi pipiku,
ini bukan air hujan ini air mata. Ya, aku menangis. Entah kenapa aku harus
sesedih ini. Sejak awal bersahabat, kebersamaan selalu menjadi prioritas.
Sedang apa, kemana, sama siapa, kita selalu tahu satu sama lain. Tak ada
rahasia antara kita. Dan itu dulu, kini dia sudah berubah. Perubahan yang
begitu cepat membuatku tak sanggup menerima semua ini. Fariz tiba-tiba saja
menghilang dan aku kembali sendiri.
Kulangkahkan kakiku
dengan gontai menuju toko buku. Enggan. Tapi sapa tahu di sana hatiku bisa
sedikit terhibur dengan novel-novel yang bertengger di rak-rak buku. Petugas
toko sudah terlihat tersenyum melihatku menuju pintu masuk. Yup, aku dan Fariz
sering sekali ke toko buku ini, paling tidak seminggu sekali meski itu hanya
sekedar melihat-lihat.
“Siang kak. Kok tumben
gak sama-sama? Datangnya belakangan.” Sapa Lisa, nama pegawai itu yang terbaca
dari baju yang dikenakannya.
“Eh ...?” jawabku
bingung.
“Tuh, masnya sudah dari
tadi di sana.” Kata Lisa sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki, Fariz.
“Sama temannya.” Lanjut
Lisa.
“Teman? Siapa?”
batinku.
Kulihat dimana Lisa
tadi menunjukkan arah Fariz berada. Tepat di rak sebelah kanan, dimana di atas
deretan rak itu terdapat papan bertuliskan novel. Fariz sedang asyik
bercengkrama dengan seorang cewek. Cewek itu manis, berkulit sawo matang,
berambut panjang dan mereka terlihat sangat senang sekali.
Aku tak tahu harus
bagaimana. Semua tampak seperti sebuah pengkhianatan. Oh, tidak. Kita hanya
bersahabat. Tapi kenapa Fariz tak pernah cerita padaku kalau dia menyukai
seorang cewek atau ..., jangan-jangan mereka sudah pacaran.
Kubelari meninggalkan
Lisa yang tampak bingung dengan reaksiku. Aku tak peduli. Kuterjang hujan yang
deras mengguyur jalanan. Tuhan, terima kasih KAU tepat mengirimkan hujan disaat
aku ingin sekali menangis. Kutumpahkan semua tangisku dalam derai hujan. Toh,
orang lain tak akan tahu kalau aku sedang menangis. Hatiku menjerit. Perih.
Seperti ada goresan di hati. Tak ada kata yang bisa aku ungkapkan. Hanya air
mata yang mampu berbicara menjelaskan isi hatiku sekarang. Dan aku tetap setia
dalam guyuran hujan yang semakin lebat.
***
Esoknya aku ijin tidak
masuk sekolah. Badanku panas karena hampir seharian aku diguyur hujan. Tubuhku
lemah, tak bergairah. Sebenarnya ini bukan karena hujan tapi karena Fariz.
Kalau saja Fariz tak ingkar janji, kalau saja Fariz gak pergi sama cewek itu,
kalau saja .... Ah, sesak.
Kulihat ponselku, ada
tiga puluh sms masuk, lima puluh panggilan tak terjawab dan semua itu dari
Fariz. Aku memang sengaja tak mau mengangkat teleponnya ataupun menjawab semua
smsnya. Aku masih sakit-lebih tepatnya sakit hati. Ingin kumatikan saja
ponselku tapi aku tak pernah tega. Aku tetap ingin tahu apa Fariz akan terus
menghubungiku atau tidak meski aku tak pernah menjawabnya sampai akhirnya aku
tertidur karena lelah.
***
Tok ... tok ... tok
.... Pintu berulang kali diketuk membuatku terbangun dari tidur. Itu pasti mama
yang memintaku untuk makan dan segera minum obat.
“Rina gak mau makan,
Ma. Rina masih ngantuk.” Teriakku.
Suara ketokan pun
hilang tapi kali ini terdengar suara pintu terbuka. Hmm, pasti mama memaksa
masuk. Lebih baik aku pura-pura sudah tertidur. Tak lama kurasakan ada sesuatu
di sampingku, membelai lembut rambutku.
“Rin, kenapa kamu
menghindar dariku? Kamu gak pernah angkat teleponku ataupun membalas smsku.
Bahkan saat kamu sakit seperti ini, kamu gak kasih kabar ke aku.”
Itu bukan suara mama.
Itu suara Fariz. Kenapa dia bisa masuk? Ini pasti karena mama.
“Aku tahu kenapa kamu
begini?” Aku mau jelaskan sesuatu padamu.” Lanjut Fariz.
Aku masih berpura-pura
tak mendengar, berpura-pura masih tidur tapi tetap hati ini tak bisa diajak
berkompromi. Aku mulai menangis meski dengan suara tertahan.
“Sebenarnya aku mau
minta maaf sama kamu karena belum sempat cerita. Aku masih menunggu waktu yang
tepat.”
“Menunggu waktu yang
tepat atau menunggu aku tersakiti dulu.” Protesku dalam hati.
“Aku tahu kamu kemarin
ke toko buku kan? Lisa yang memberitahuku. Kamu pergi begitu saja setelah Lisa
menunjukkan keberadaanku. Lisa bingung lalu menceritakannya padaku.
“Kamu pasti sudah
melihat cewek yang sedang bersamaku. Cewek itu sebenarnya adikku. Adik tiriku.
Papa baru saja pulang dari Amrik dan papa sudah menikah lagi dengan wanita negara
sana. Aku tak ceritakan ini semua karena aku sendiri butuh waktu untuk mengakui
Evelin sebagai adik tiriku. Aku tak ingin membuatmu sedih dan memikirkan aku.
Aku butuh waktu. Ternyata sebelum aku ceritakan semua ini, kamu sudah terlebih
dahulu mengetahuinya. Maafkan aku, Rin. Aku tak bermaksud membuatmu sedih.”
Jelas Fariz panjang lebar.
“Tapi kamu sudah
merusak kepercayaanku, Riz. Kamu sudah tak menanggapku lagi.” Protesku lagi
dalam hati.
Fariz masih terus
membelai lembut rambutku. Belaian dari tangannya sungguh membuatku sedikit demi
sedikit menjadi tenang. Buat apa berlarut-larut marah pada Fariz. Fariz tak
salah. Aku saja yang terlalu kekanak-kanakan. Kupalingkan wajahku, membalikkan
badan, tubuhku beranjak bangun dan segera ku memeluk Fariz.
“Fariz maafkan aku. Aku
harusnya menanyakan lebih dulu padamu bukannya menghindar dan diam seperti ini.
Maafkan aku, Riz.” Kataku sambil sesenggukkan.
“Kamu gak salah, Rin.
Aku yang salah.”
Fariz mendekapku dalam
pelukannya. Hangat. Badannya yang bidang membuatku menjadi nyaman.
“Sekarang makan, ya.”
Ajak Fariz sambil mengambil nampan yang sudah berisi makanan di dekat tempat
tidur. Fariz lalu menyuapiku dan kami kembali bercanda.
“Fariz, andai kamu
tahu. Aku seperti ini karena kau sebenarnya mencintaimu. Tapi biarlah perasaan
ini aku simpan sendiri. Aku tak mau kebersamaan kita hilang hanya karena rasa
cintaku padamu. Tetaplah jadi sahabatku, Riz. Selamanya.” Gumanku.
***
0 komentar:
Posting Komentar