Senin, 09 Desember 2013

CINTAKU PADA SAHABAT

Diposting oleh Sischa Rinnanda Wibandari di Senin, Desember 09, 2013

 
Kita tak akan tahu kapan cinta itu datang dan kepada siapa cinta itu berlabuh.
“Hay! Ngelamun ajah kamu, Riz.” Sapaku pada Fariz yang sedari tadi aku lihat bengong terus. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tapi Fariz bukannya jawab tapi malah tetap sama kebengongannya dan terus memandang ke satu arah.
“Yee ..., nih anak ditanya malah diam ajah. Lagi ngeliatain apaan sih?” tanyaku lagi sambil memperhatikan apa yang sedang  Fariz lihat. Sejenak aku ikut terdiam melihat apa yang dari tadi Fariz perhatikan. Tubuhku terasa lemas. Aku pun tertunduk lesu.  “Jadi ..., karena itu Fariz ....” Tak sanggup lagi aku menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan Fariz. Sakit.
***
Bel tanda pulang berbunyi. Murid-murid mulai berhamburan keluar kelas tak terkecuali denganku. Tapi kali ini sebelum pulang, aku dan Fariz sudah berjanji bertemu di gerbang sekolah untuk pergi bersama ke toko buku. Seminggu yang lalu Fraiz sudah janji padaku kalau hari ini dia akan menemaniku ke toko buku membeli novel terbaru.
Terik matahari sudah berada tepat di atas kepala, aku mulai kepanasan meski di sekitar sekolah banyak pepohonan tetap saja udara terasa panas. Gerah. Tak terhitung berapa tetes keringat yang sudah keluar dari tubuhku membuat sebagian bajuku basah.
“Kemana sih Fariz? Kok dari tadi gak nongol?”
Seribu detik aku menunggu penampakan wajah Fariz tapi belum ada tanda-tanda dia muncul. Aku jadi gelisah. Berkali-kali aku mengurungkan niatku untuk menelepon Fariz karena aku yakin dia pasti datang. Satu menit, dua menit, lima menit sampai sepuluh menit Fariz belum juga datang. Lebih baik aku tanyakan saja pada temannya. Kebetulan ada teman sekelas Fariz yang sedang lewat.
“Rom, kamu lihat Fariz?”
“Loh, bukannya dia sudah pulang ya. Kamu kan sahabatnya masa gak tahu sih. Bukannya kalian selalu sama-sama?”
Romi tampak kaget dengan pertanyaanku yang seharusnya aku lebih tahu dimana Fariz sekarang. Tapi aku lebih kaget lagi. “Fariz pulang lebih dulu dan dia gak kasih tahu aku sebelumnya. Bukannya dia sudah janji padaku?”
Belum sempat aku memjawab, Romi sudah melanjutkan kata-katanya.
“Tadi habis bel pulang, dia buru-buru keluar. Aku tanya katanya dia ada janji makanya buru-buru banget. Aku kira janji sama kamu.”
“Ya sudah ya, aku mau pulang dulu nih.” Pamit Romi.
Romi berlalu begitu saja meningglkanku yang masih mematung dihinggapi beratus pertanyaan tentang keanehan Fariz. “Fariz memang ada janji. Dia janji padaku tapi ..., dia tak ada di sini. Lalu dia janji pada siapa?” hatiku berulang kali menanyakan itu padaku dan aku sendiri tak tahu jawabannya.
Ini kali pertama Fariz melupakan janjinya padaku. Selama dua tahun bersahabat dengannya, belum pernah Fariz ingkar janji bahkan sampai meninggalkanku sendirian di depan gerbang tanpa mengabariku terlebih dahulu. Tak terasa titik-titik air membasahi pipiku, ini bukan air hujan ini air mata. Ya, aku menangis. Entah kenapa aku harus sesedih ini. Sejak awal bersahabat, kebersamaan selalu menjadi prioritas. Sedang apa, kemana, sama siapa, kita selalu tahu satu sama lain. Tak ada rahasia antara kita. Dan itu dulu, kini dia sudah berubah. Perubahan yang begitu cepat membuatku tak sanggup menerima semua ini. Fariz tiba-tiba saja menghilang dan aku kembali sendiri.
Kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju toko buku. Enggan. Tapi sapa tahu di sana hatiku bisa sedikit terhibur dengan novel-novel yang bertengger di rak-rak buku. Petugas toko sudah terlihat tersenyum melihatku menuju pintu masuk. Yup, aku dan Fariz sering sekali ke toko buku ini, paling tidak seminggu sekali meski itu hanya sekedar melihat-lihat.
“Siang kak. Kok tumben gak sama-sama? Datangnya belakangan.” Sapa Lisa, nama pegawai itu yang terbaca dari baju yang dikenakannya.
“Eh ...?” jawabku bingung.
“Tuh, masnya sudah dari tadi di sana.” Kata Lisa sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki, Fariz.
“Sama temannya.” Lanjut Lisa.
“Teman? Siapa?” batinku.
Kulihat dimana Lisa tadi menunjukkan arah Fariz berada. Tepat di rak sebelah kanan, dimana di atas deretan rak itu terdapat papan bertuliskan novel. Fariz sedang asyik bercengkrama dengan seorang cewek. Cewek itu manis, berkulit sawo matang, berambut panjang dan mereka terlihat sangat senang sekali.
Aku tak tahu harus bagaimana. Semua tampak seperti sebuah pengkhianatan. Oh, tidak. Kita hanya bersahabat. Tapi kenapa Fariz tak pernah cerita padaku kalau dia menyukai seorang cewek atau ..., jangan-jangan mereka sudah pacaran.
Kubelari meninggalkan Lisa yang tampak bingung dengan reaksiku. Aku tak peduli. Kuterjang hujan yang deras mengguyur jalanan. Tuhan, terima kasih KAU tepat mengirimkan hujan disaat aku ingin sekali menangis. Kutumpahkan semua tangisku dalam derai hujan. Toh, orang lain tak akan tahu kalau aku sedang menangis. Hatiku menjerit. Perih. Seperti ada goresan di hati. Tak ada kata yang bisa aku ungkapkan. Hanya air mata yang mampu berbicara menjelaskan isi hatiku sekarang. Dan aku tetap setia dalam guyuran hujan yang semakin lebat.
***
Esoknya aku ijin tidak masuk sekolah. Badanku panas karena hampir seharian aku diguyur hujan. Tubuhku lemah, tak bergairah. Sebenarnya ini bukan karena hujan tapi karena Fariz. Kalau saja Fariz tak ingkar janji, kalau saja Fariz gak pergi sama cewek itu, kalau saja .... Ah, sesak.
Kulihat ponselku, ada tiga puluh sms masuk, lima puluh panggilan tak terjawab dan semua itu dari Fariz. Aku memang sengaja tak mau mengangkat teleponnya ataupun menjawab semua smsnya. Aku masih sakit-lebih tepatnya sakit hati. Ingin kumatikan saja ponselku tapi aku tak pernah tega. Aku tetap ingin tahu apa Fariz akan terus menghubungiku atau tidak meski aku tak pernah menjawabnya sampai akhirnya aku tertidur karena lelah.
***
Tok ... tok ... tok .... Pintu berulang kali diketuk membuatku terbangun dari tidur. Itu pasti mama yang memintaku untuk makan dan segera minum obat.
“Rina gak mau makan, Ma. Rina masih ngantuk.” Teriakku.
Suara ketokan pun hilang tapi kali ini terdengar suara pintu terbuka. Hmm, pasti mama memaksa masuk. Lebih baik aku pura-pura sudah tertidur. Tak lama kurasakan ada sesuatu di sampingku, membelai lembut rambutku.
“Rin, kenapa kamu menghindar dariku? Kamu gak pernah angkat teleponku ataupun membalas smsku. Bahkan saat kamu sakit seperti ini, kamu gak kasih kabar ke aku.”
Itu bukan suara mama. Itu suara Fariz. Kenapa dia bisa masuk? Ini pasti karena mama.
“Aku tahu kenapa kamu begini?” Aku mau jelaskan sesuatu padamu.” Lanjut Fariz.
Aku masih berpura-pura tak mendengar, berpura-pura masih tidur tapi tetap hati ini tak bisa diajak berkompromi. Aku mulai menangis meski dengan suara tertahan.
“Sebenarnya aku mau minta maaf sama kamu karena belum sempat cerita. Aku masih menunggu waktu yang tepat.”
“Menunggu waktu yang tepat atau menunggu aku tersakiti dulu.” Protesku dalam hati.
“Aku tahu kamu kemarin ke toko buku kan? Lisa yang memberitahuku. Kamu pergi begitu saja setelah Lisa menunjukkan keberadaanku. Lisa bingung lalu menceritakannya padaku.
“Kamu pasti sudah melihat cewek yang sedang bersamaku. Cewek itu sebenarnya adikku. Adik tiriku. Papa baru saja pulang dari Amrik dan papa sudah menikah lagi dengan wanita negara sana. Aku tak ceritakan ini semua karena aku sendiri butuh waktu untuk mengakui Evelin sebagai adik tiriku. Aku tak ingin membuatmu sedih dan memikirkan aku. Aku butuh waktu. Ternyata sebelum aku ceritakan semua ini, kamu sudah terlebih dahulu mengetahuinya. Maafkan aku, Rin. Aku tak bermaksud membuatmu sedih.” Jelas Fariz panjang lebar.
“Tapi kamu sudah merusak kepercayaanku, Riz. Kamu sudah tak menanggapku lagi.” Protesku lagi dalam hati.
Fariz masih terus membelai lembut rambutku. Belaian dari tangannya sungguh membuatku sedikit demi sedikit menjadi tenang. Buat apa berlarut-larut marah pada Fariz. Fariz tak salah. Aku saja yang terlalu kekanak-kanakan. Kupalingkan wajahku, membalikkan badan, tubuhku beranjak bangun dan segera ku memeluk Fariz.
“Fariz maafkan aku. Aku harusnya menanyakan lebih dulu padamu bukannya menghindar dan diam seperti ini. Maafkan aku, Riz.” Kataku sambil sesenggukkan.
“Kamu gak salah, Rin. Aku yang salah.”
Fariz mendekapku dalam pelukannya. Hangat. Badannya yang bidang membuatku menjadi nyaman.
“Sekarang makan, ya.” Ajak Fariz sambil mengambil nampan yang sudah berisi makanan di dekat tempat tidur. Fariz lalu menyuapiku dan kami kembali bercanda.
“Fariz, andai kamu tahu. Aku seperti ini karena kau sebenarnya mencintaimu. Tapi biarlah perasaan ini aku simpan sendiri. Aku tak mau kebersamaan kita hilang hanya karena rasa cintaku padamu. Tetaplah jadi sahabatku, Riz. Selamanya.” Gumanku.
***

0 komentar:

 

SisChaYanK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea