Kutermenung menatap kalender yang
tergantung di dinding, tertulis jelas tahun 2014 dan aku masih sendiri.
Sebenarnya seperti siapa yang aku cari, aku juga tak tahu. Tak ada kriteria
khusus untukku. Biarlah hati yang berbicara menuntun kepada siapa yang akan aku
pilih.
Sejak aku putuskan untuk tak lagi
berpacaran, aku lalui hariku tanpa kekasih. Terakhir aku putus dengan pacar,
beberapa hari sebelum lebaran tahun 2012. Tahun 2013, sempat menjalin hubungan
dengan seseorang tapi itu pun tak berlanjut lama hanya satu bulan dan hubungan
itu tak seperti orang pacaran, hanya bertemu satu kali dan komunikasi pun juga
jarang sampai akhirnya dia memutuskan hubungan karena alasan trauma dengan
pertunangannya yang gagal.
Aku mulai jalani hari-hariku
sendiri, menyibukkan diri dengan aktivitas baruku. Pernah aku menyukai
seseorang, dia teman lama waktu sekolah yang ternyata rumahnya dekat dengan
rumahku. Sempat kuberharap dialah yang terkahir. Aku bawa namanya dalam setiap
sujudku sampai Allah menjawab doaku. Hubungan pertemananku dengannya mulai
renggang bahkan sekarang sudah putus. Ini karena kesalahpahaman antara aku dan
dia. Hingga dia memblokir facebookku. Sedikit kecewa, tapi inilah yang terbaik
untukku dari doaku selama ini. Aku berdoa, “Jika memang dia yang terbaik
untukku, maka dekatkanlah kami. Jika memang dia bukan yang terbaikku untukku,
maka jauhkanlah kami.” Dan kami pun berjauhan dan mungkin memang dia bukan yang
terbaik untukku. Aku pun sudah tak pernah lagi dengan sengaja melewati
bengkelnya ataupun kepo ingin tahu tentangnya. Semua sudah berakhir dan hati
kembali sendiri.
Tapi akhir-akhir ini kisah itu
kembali terulang. Aku menyukai seseorang (lagi). Aku mendekatinya, menjadi
temannya. Aku mencari tahu tentangnya sampai akhirnya lagi-lagi aku kecewa. Ya,
ternyata dia sudah punya kekasih. Doaku padanya sama dengan doaku seperti yang
dulu-dulu. Dan kembali doaku terjawab. Kini harapanku padanya pupus. Padahal
aku sempat berharap dia bisa menjadi terbaik karena dia orang yang pendiam, ibadahnya
bagus, juga guru ngaji. Aku pun harus menyadari semuanya sudah jadi yang
terbaik untukku.
Dari semua itu aku bisa belajar
bagaimana kuat menahan kecewa, sakit hati dan bersabar menanti jodohku kelak.
Sebenarnya aku menikmati kesendirianku meski hati kecilku sering bertanya, “Kapan
kamu menikah?”. Meski tak ada tuntutan dari ibu untuk segera menikah tapi
terkadang keinginan itu sangat kuat terlebih kini usaiku akan menginjak dua
puluh enam tahun, usia yang sudah sepantasnya membangun rumah tangga dengan
seseorang yang mencintaku, aku mencintainya dan bersama-sama belajar lebih baik
lagi menuju ridho-Nya. Aku yakin semua indah pada waktunya.
I am Single Happy.
0 komentar:
Posting Komentar