Jumat, 04 Oktober 2013

Cerpen Tentang TKI #1: KEPULANGAN TERAKHIRKU

Diposting oleh Sischa Rinnanda Wibandari di Jumat, Oktober 04, 2013



“Maafkan Rini, Bun. Harusnya dulu Rini nurut apa kata Bunda. Harusnya Rini tak pergi lagi. Harusnya Rini menemani bunda di sini. Harusnya ....”

            Derai tangis terus menghiasi ruang tamu. Aku sungguh tak tega melihat bunda menangis karenaku tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Adik dan kakak juga ikut merasa sedih sedangkan bapak hanya tertunduk tanpa ekspresi. Meski begitu, aku tahu bapak juga merasakan kesedihan. Itulah bapak, beliau ingin tetap terlihat tegar di depan istri dan anak-anaknya, selalu menyembunyikan kesedihan yang dirasanya.

            Sehari dua hari bahkan dihari ketiga kepulanganku ruang tamu itu masih berselimut kalbu. Wajah-wajah mendung bergelayut di tiap sudut ruangan. Tak ada canda tawa bahkan seulas senyum pun semakin berat. Jika terpaksa hanya senyum getir yang terlihat.

“Oh Tuhan, maafkan aku yang telah membuat keluargaku bersedih hati. Menangisi kepulanganku.”

Aku duduk di sudut ruangan memandangi wajah-wajah yang kukenal. Terang cahaya lampu menyoroti  mata-mata mereka yang sayu dan sembab.  Setetes air mata masih sering tercurah disela-sela keheningan. Semua terdiam memandangku dengan tatapan iba. Mereka yang selama ini sangat ramah dan sering menunggu kepulanganku menantikan kabar baik serta cerita-cerita seputar pekerjaanku di luar negeri justru kubuat dirundung pilu.

***



“Rini, ayo ceritakan bagaimana suasana di sana!”

Begitulah orang-orang kampung bila melihatku sudah pulang dari luar negeri. Mereka pikir cerita-ceritaku seperti dongeng cinderella yang mengisahkan seorang wanita dari rakyat biasa menjadi seorang putri cantik. Memang awalnya seperti itu, sangat manis bahkan kemanisan yang kurasakan membuatku terlena dan lupa akan hal yang selama ini aku takutkan.

Malam makin larut tak menyurutkan mereka untuk terus menemaniku di sini. Mereka seakan ingin berlama denganku menghilangkan rasa kangen yang hampir dua tahun terakhir aku tak pulang. Lebih tepatnya, aku takut untuk pulang. Aku tak ingin pulang bukan berarti aku lupa dengan mereka namun rasa sakit ini membuatku menunda kepulanganku.

Sekujur tubuhku terasa dingin. Ada desir kehampaan menyelimuti jiwaku. Tubuhku menjadi berat padahal aku jarang mendapatkan jatah makan dari majikanku. Sering aku menahan lapar lebih dari dua hari. Air kran yang aku gunakan untuk mencuci kubuat sebagai pengganjal perut. Perih. Tapi harus aku lakukan agar aku bisa tetap bertahan.

***

Semenjak dua tahun terakhir majikanku berubah. Tuanku semakin sering uring-uringan, mabuk-mabukan, main perempuan, bahkan bila di luar belum terpuaskan aku yang berada di rumah menjadi sasarannya. Kepergian istri tuanku yang menyebabkan peringainya menjadi buas. Sebuas singa kelaparan.

Pantas saja bila istri tuanku meninggalkannya, sikapnya yang kasar dan sifatnya yang egois membuat nyonyaku lari pergi meninggalkan rumah serta membawa dua anaknya yang masih sekolah.

“Aku minta cerai. Besok pengacaraku akan mengurus semua surat-surat percerian kita. Dan kamu harus mau.”

Begitu kata nyonyaku di akhir pertengkaran hebatnya. Nyonyaku langsung pergi menuju mobil yang sudah disiapkan. Baju-baju dan semua barang berharga di angkut oleh nyonyaku dan hanya meninggalkan rumah ini untuk tuanku.

Dari situlah awal kesengsaraanku. Tiada hari tanpa luka. Sekujur tubuhku hampir lebam, sendi-sendiku mulai sulit untuk digerakkan, mataku pun mulai kabur. Terakhir penyiksaannya kepadaku yaitu dengan mengurungku di gudang. Ingin rasanya aku melarikan diri tapi ruangan itu sangat tertutup hingga tubuhku semakin lemas. Aku hanya bisa terbaring di lantai tanpa bisa yang aku kerjakan. Meski begitu, alhamdulillah aku tak pernah meninggalkan sholatku.

Di saat tubuhku terbaring lemah, aku melantunkan doa-doa kepada Tuhanku. Aku berharap Tuhan bisa membawaku pulang menemui keluargaku. Aku kini pasrah jika mereka melihat keadaanku seperti ini. Padahal bukan ini yang aku inginkan. Dan Tuhan sungguh baik, Tuhan membawaku pulang.

***

Mereka semua menyambutku dengan sangat baik. Sejak aku pulang dan merasa kedinginan, mereka memberiku kain untuk menyelimutiku bahkan aku diberi tempat khusus untuk beristirahat. Mereka pasti tahu kalau aku lelah sekali selama perjalanan pulang. Mereka menjagaku seakan tak ingin ada lagi luka di tubuhku.

Luka lebam yang menempel ditubuhku mereka bersihkan. Segar sekali tubuh ini setelah mandi. Mereka sangat hati-hati saat membersihkanku. Mereka juga memberiku bunga-bunga agar tubuhku menjadi wangi.

Kini aku sudah berpakaian lengkap. Baju baru yang mereka berikan dipakaikan padaku dengan sangat rapi. Aku tertidur di tempat peristirahatan yang mereka siapkan untukku. Nyaman. Ada sebekas kelegaan bisa melihat mereka semua berkumpul menemaniku.

Namun semua ini tetap membuatku sedih. Mereka menemaniku bukan dalam kesenangan tapi kedukaan. Duka yang tak pernah mereka sangka. Mereka mengirimkan doa-doa baik padaku hingga aku merasa tenang dan kepulanganku menjadi damai.

“Bun, maafkan Rini bila kepulangan terakhir Rini membawa kedukaan bagi semuanya. Rini tak bisa pulang ke rumah Bunda. Rini harus pulang kerumah-Nya. Aku sayang kalian semua.”

Aku pun pergi meningglkan mereka dan jasadku yang terbujur kaku. Tuhan telah membawaku pulang. Pulang ke rumah yang Tuhan siapkan untukku. Tuhan telah menepati janji-Nya dan aku mengikutinya. Selamat tinggal semuanya.





0 komentar:

 

SisChaYanK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea