“Maafkan Rini, Bun. Harusnya dulu Rini nurut apa
kata Bunda. Harusnya Rini tak pergi lagi. Harusnya Rini menemani bunda di sini.
Harusnya ....”
Derai tangis terus menghiasi ruang
tamu. Aku sungguh tak tega melihat bunda menangis karenaku tapi aku tak bisa
berbuat apa-apa. Adik dan kakak juga ikut merasa sedih sedangkan bapak hanya
tertunduk tanpa ekspresi. Meski begitu, aku tahu bapak juga merasakan
kesedihan. Itulah bapak, beliau ingin tetap terlihat tegar di depan istri dan
anak-anaknya, selalu menyembunyikan kesedihan yang dirasanya.
Sehari dua hari bahkan dihari ketiga
kepulanganku ruang tamu itu masih berselimut kalbu. Wajah-wajah mendung
bergelayut di tiap sudut ruangan. Tak ada canda tawa bahkan seulas senyum pun
semakin berat. Jika terpaksa hanya senyum getir yang terlihat.
“Oh Tuhan, maafkan aku yang telah membuat keluargaku
bersedih hati. Menangisi kepulanganku.”
Aku duduk di sudut ruangan memandangi wajah-wajah
yang kukenal. Terang cahaya lampu menyoroti mata-mata mereka yang sayu dan sembab. Setetes air mata masih sering tercurah
disela-sela keheningan. Semua terdiam memandangku dengan tatapan iba. Mereka
yang selama ini sangat ramah dan sering menunggu kepulanganku menantikan kabar
baik serta cerita-cerita seputar pekerjaanku di luar negeri justru kubuat
dirundung pilu.
“Rini, ayo ceritakan bagaimana suasana di sana!”
Begitulah orang-orang kampung bila melihatku sudah
pulang dari luar negeri. Mereka pikir cerita-ceritaku seperti dongeng
cinderella yang mengisahkan seorang wanita dari rakyat biasa menjadi seorang
putri cantik. Memang awalnya seperti itu, sangat manis bahkan kemanisan yang
kurasakan membuatku terlena dan lupa akan hal yang selama ini aku takutkan.
Malam makin larut tak menyurutkan mereka untuk terus
menemaniku di sini. Mereka seakan ingin berlama denganku menghilangkan rasa
kangen yang hampir dua tahun terakhir aku tak pulang. Lebih tepatnya, aku takut
untuk pulang. Aku tak ingin pulang bukan berarti aku lupa dengan mereka namun
rasa sakit ini membuatku menunda kepulanganku.
Sekujur tubuhku terasa dingin. Ada desir kehampaan
menyelimuti jiwaku. Tubuhku menjadi berat padahal aku jarang mendapatkan jatah
makan dari majikanku. Sering aku menahan lapar lebih dari dua hari. Air kran yang
aku gunakan untuk mencuci kubuat sebagai pengganjal perut. Perih. Tapi harus
aku lakukan agar aku bisa tetap bertahan.
***
Semenjak dua tahun terakhir majikanku berubah.
Tuanku semakin sering uring-uringan, mabuk-mabukan, main perempuan, bahkan bila
di luar belum terpuaskan aku yang berada di rumah menjadi sasarannya. Kepergian
istri tuanku yang menyebabkan peringainya menjadi buas. Sebuas singa kelaparan.
Pantas saja bila istri tuanku meninggalkannya,
sikapnya yang kasar dan sifatnya yang egois membuat nyonyaku lari pergi meninggalkan
rumah serta membawa dua anaknya yang masih sekolah.
“Aku minta cerai. Besok pengacaraku akan mengurus
semua surat-surat percerian kita. Dan kamu harus mau.”
Begitu kata nyonyaku di akhir pertengkaran hebatnya.
Nyonyaku langsung pergi menuju mobil yang sudah disiapkan. Baju-baju dan semua
barang berharga di angkut oleh nyonyaku dan hanya meninggalkan rumah ini untuk
tuanku.
Dari situlah awal kesengsaraanku. Tiada hari tanpa
luka. Sekujur tubuhku hampir lebam, sendi-sendiku mulai sulit untuk digerakkan,
mataku pun mulai kabur. Terakhir penyiksaannya kepadaku yaitu dengan
mengurungku di gudang. Ingin rasanya aku melarikan diri tapi ruangan itu sangat
tertutup hingga tubuhku semakin lemas. Aku hanya bisa terbaring di lantai tanpa
bisa yang aku kerjakan. Meski begitu, alhamdulillah aku tak pernah meninggalkan
sholatku.
Di saat tubuhku terbaring lemah, aku melantunkan
doa-doa kepada Tuhanku. Aku berharap Tuhan bisa membawaku pulang menemui
keluargaku. Aku kini pasrah jika mereka melihat keadaanku seperti ini. Padahal
bukan ini yang aku inginkan. Dan Tuhan sungguh baik, Tuhan membawaku pulang.
***
Mereka semua menyambutku dengan sangat baik. Sejak
aku pulang dan merasa kedinginan, mereka memberiku kain untuk menyelimutiku
bahkan aku diberi tempat khusus untuk beristirahat. Mereka pasti tahu kalau aku
lelah sekali selama perjalanan pulang. Mereka menjagaku seakan tak ingin ada
lagi luka di tubuhku.
Luka lebam yang menempel ditubuhku mereka bersihkan.
Segar sekali tubuh ini setelah mandi. Mereka sangat hati-hati saat
membersihkanku. Mereka juga memberiku bunga-bunga agar tubuhku menjadi wangi.
Kini aku sudah berpakaian lengkap. Baju baru yang
mereka berikan dipakaikan padaku dengan sangat rapi. Aku tertidur di tempat
peristirahatan yang mereka siapkan untukku. Nyaman. Ada sebekas kelegaan bisa
melihat mereka semua berkumpul menemaniku.
Namun semua ini tetap membuatku sedih. Mereka
menemaniku bukan dalam kesenangan tapi kedukaan. Duka yang tak pernah mereka
sangka. Mereka mengirimkan doa-doa baik padaku hingga aku merasa tenang dan
kepulanganku menjadi damai.
“Bun, maafkan Rini bila kepulangan terakhir Rini
membawa kedukaan bagi semuanya. Rini tak bisa pulang ke rumah Bunda. Rini harus
pulang kerumah-Nya. Aku sayang kalian semua.”
Aku pun pergi meningglkan mereka dan jasadku yang
terbujur kaku. Tuhan telah membawaku pulang. Pulang ke rumah yang Tuhan siapkan
untukku. Tuhan telah menepati janji-Nya dan aku mengikutinya. Selamat tinggal
semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar