Jumat, 22 November 2013

JANJI di KAKI GUNUNG SEMERU

Diposting oleh Sischa Rinnanda Wibandari di Jumat, November 22, 2013


JANJI di KAKI GUNUNG SEMERU
Gadis itu terbujur lemas di ruang kesehatan. Sudah dua jam gadis itu tak sadarkan diri. Tubuhnya yang kurus di tambah mukanya yang pucat, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi iba. Kejadian itu di luar dugaan. Seandainya aku tak menantangnya untuk ikut dalam pendakian ini mungkin semuanya tak akan terjadi. Aku pun tak percaya kalau dia akan senekat itu hanya demi aku. Aku yang tak menyadari akan perasaan itu, menganggapnya hanya sebuah candaan. Tapi bagi gadis itu adalah benar. Betapa bodohnya aku selama ini yang tak tahu akan arti hadirnya. Harusnya aku bisa menjaganya dengan baik.
"Maafkan aku, Nda," ucapku lirih.
***

Malam itu aku akan menjemput teman SMA-ku, Nanda. Kami sudah berjanji akan melihat pagelaran kesenian. Tepat jam 7 malam aku sampai di rumahnya. Dia sudah menyambutku di depan pintu. Dia tampak cantik dari biasanya seperti ada yang berbeda. Ini adalah agenda rutin kami. Kami memang sama-sama menyukai kesenian. Semenjak aku tahu kalau Nanda juga menyukai seni, aku mulai sering mengajaknya untuk menemaniku nonton pagelaran. Karena memang selama ini aku lebih sering nonton sendirian. Lumayanlah kalau ada teman, jadi ada yang bisa aku ajak ngobrol dan membahas tentang pagelaran.
Sesampainya di gedung pagelaran, semua pengujung sudah penuh sesak memenuhi ruangan. Acaranya sangat meriah. Kami sungguh menikmatinya hingga waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa acara pun usai. Kami juga tak pernah lupa untuk mengabadikannya dalam sebuah foto. Jepret sana jepret sini.
Sebelum kembali pulang, aku mengajak Nanda mampir di sebuah rumah makan, mengisi perut yang sembari tadi kosong karena asyik menonton pagelaran. Dan rumah makan itulah awal mula dari semua ini.
“Nda, kamu senang jalan denganku?” tanyaku iseng tanpa maksud apa-apa.
“Iya senang, Van. Malah lebih dari senang.”
“Aku menyukaimu, Van.” Ucapnya lirih, lirih sekali.
“Apa? Gak dengar, Nda.” Aku mencondongkan tubuhku lebih dekat meyakinkan pendengaranku.
“Eh. Gak apa-apa kok, Van. Aku gak ngomong apa-apa. Hehe.” Sahutnya sedikit salah tingkah.
Jelas-jelas aku mendengarnya tapi apa benar yang dia katakan. Rumah makan yang semakin ramai menenggelamkan suaranya yang teramat lirih. Dan aku mencoba meyakinkannya dengan menanyakannya kembali. Mungkin dia malu mengatakannya lagi. Atau dia hanya sengaja mengerjaiku. Aku yang terlanjur penasaran.
“Apa benar yang kamu katakan tadi, Nda?”
“Eh ...” Dia tampak kaget dengan pertanyaanku. Mungkin dia tak mengira kalau aku benar-benar mendengarnya.
“Kalau memang benar. Kenapa?” Dia balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat serius menunggu jawabanku.
“Hehe .... Kamu bercanda ya,” Jawabku.
“Aku serius Van.” Dengan cepat Nanda menjawab. Kini aku yang tampak kaget. Aku terdiam mencoba mencerna arti kata-kata itu. Aku memastikan kata-katanya dengan menatap kedua matanya. Kata orang, “Mata tak bisa berbohong”. Dan benar, tak ada segurat kebohongan di matanya. Dia benar. Tapi entah kenapa masih ada keraguan di hati dan ucapan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ucapan yang menyesal, kenapa aku tak mempercayainya.
“Kalau memang kamu serius. Ikutlah mendaki denganku. Mendaki Gunung Semeru.”
“Ok. Aku akan ikut denganmu.” Jawaban yang yang tak pernah aku sangka akibatnya separah ini.
***
Pagi-pagi buta aku mendapatinya sudah datang lengkap dengan tas ransel di punggungnya dimana kami berjanji bertemu. Dia tampak bersemangat sekali. Sangat di luar dugaanku. Dengan penuh yakin dia menghampiriku menunjukkan kesiapannya. Tapi kesiapannya justru semakin membuatku cemas. Aku tahu dia tak pernah sekali pun mendaki. Dan aku juga tahu dia takut ketinggian.
Selama perjalanan kecemasanku berangsur hilang seiring canda tawa yang terhias di bibirnya. Senyumnya terlihat manis dan tulus tanpa dibuat-buat. Kami pun akhirnya sampai ke tempat tujuan. Di kaki gunung Semeru lah perjalanan itu sebenarnya di mulai.
Setapak demi setapak jalan berliku kami lewati. Kami terjang ranting-ranting pohon yang menjulang keluar, batu-batu kerikil berceceran, debu-debu yang berterbangan, serta hewan-hewan kecil yang membuat tubuh terasa gatal. Dan selama itu pula, Nanda baik-baik saja.
Hari pun mulai gelap namun perjalanan masih jauh. Kami putuskan untuk berkemah melepas lelah dan besok pagi akan kembali kami lanjutkan. Tenda-tenda berdiri siap di tempati. Dan aku membuat api unggun seraya untuk menghangatkan tubuh di tengah dinginnya udara di hutan. Di situ aku melihat Nanda tampak lelah. Aku hampirinya mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Kamu baik-baik saja, Nda?” tanyaku khawatir.
“Iya. Aku baik-baik saja kok, Van.” Jawabnya sembari tersenyum. Meski begitu aku tak bisa dibohongi. Dia terlihat pucat.
“Yakin?” tanyaku kembali sambil menyentuh tangannya. Dingin. Segera tanganku beranjak lari ke keningnya.
“Kamu demam, Nda. Sebaiknya kamu istirahat di tenda. Nanti kamu akan aku kompres dan ...”
Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku. Tubuhnya terjatuh. Dengan sigap aku menangkapnya dan menggotong tubuhnya ke dalam tenda. Nanda pingsan. Aku dan teman-temanku cemas dengan keadaannya. Selama ini belum pernah kami mengalami kejadian seperti ini. Ini salahku, kataku menyesal.
Akhirnya kami sepakat sebagian dari kami saja yang melanjutkan pendakian ini dan sebagian lagi menemaniku turun dan meminta bantuan warga sekitar mengobati Nanda sampai pulih.
***
Aku duduk di dekat ranjang Nanda tertidur. Belum ada tanda-tanda dia akan sadar. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu sambil terus berdoa berharap dia tersadar dan akan baik-baik saja. Rasa kantuk mulai menjalar membuatku berkali-kali menguap. Aku tak ingin tidur siapa tahu sebentar lagi Nanda akan siuman. Tapi kepalaku semakin berat. Aku tundukkan kepalaku di pinggir ranjang dengan tangan sebagai bantalan. Tak lama aku langsung tertidur mungkin karena terlalu lelah. Namun beberapa menit tertidur, samar-samar aku mendengar suara memanggil namaku. Antara nyata dan mimpi.
“Revan.”
Aku tetap dalam posisi tidur. Tak mengindahkan suara itu. Mungkin ini hanya salah pendengaran. Tapi panggilan itu semakin jelas dan ada sesuatu yang menyentuhku.
“Revan.”
Sekuat tenaga aku beranjak bangun. Nanda siuman. Dia kembali berbicara.
“Van, aku dimana?”
“Kamu jangan banyak bicara dulu ya. Aku akan panggil mantri untuk memeriksamu.” Jawabku.
“Gak usah, Van.” Dia mencegahku, meraih tanganku dan menghentikan langkahku.
“Kamu di sini saja.” Pintanya. Aku menurut, kembali duduk.
“Maafkan aku ya, Van. Aku sudah merepotkanmu. Aku sudah membuat acara pendakianmu berantakan. Aku ...” Dia menangis. Belum pernah aku melihatnya menangis. Aku tak tega melihatnya. Ini lah kelemahan pria. Pria selalu lemah bila ada wanita menangis di depannya.
“Kamu gak perlu minta maaf, Nda. Aku yang salah.” Ku usap air mata yang mengalir di pipinya.
“Saat kamu pingsan, aku menyadari sesuatu. Aku tak menyukaimu tapi aku mencintaimu. Aku takut kehilanganmu.”
Ku genggam erat tangan Nanda dan dengan lembut ku kecup keningnya. Di sinilah, di kaki Gunung Semeru janji suci terucap. Janji untuk selalu bersama selamanya.

0 komentar:

 

SisChaYanK Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea