JANJI di KAKI GUNUNG SEMERU
Gadis
itu terbujur lemas di ruang kesehatan. Sudah dua jam gadis itu tak sadarkan
diri. Tubuhnya yang kurus di tambah mukanya yang pucat, membuat siapa saja yang
melihatnya menjadi iba. Kejadian itu di luar dugaan. Seandainya aku tak
menantangnya untuk ikut dalam pendakian ini mungkin semuanya tak akan terjadi.
Aku pun tak percaya kalau dia akan senekat itu hanya demi aku. Aku yang tak
menyadari akan perasaan itu, menganggapnya hanya sebuah candaan. Tapi bagi
gadis itu adalah benar. Betapa bodohnya aku selama ini yang tak tahu akan arti
hadirnya. Harusnya aku bisa menjaganya dengan baik.
"Maafkan
aku, Nda," ucapku lirih.
***
Malam
itu aku akan menjemput teman SMA-ku, Nanda. Kami sudah berjanji akan melihat
pagelaran kesenian. Tepat jam 7 malam aku sampai di rumahnya. Dia sudah
menyambutku di depan pintu. Dia tampak cantik dari biasanya seperti ada yang
berbeda. Ini adalah agenda rutin kami. Kami memang sama-sama menyukai kesenian.
Semenjak aku tahu kalau Nanda juga menyukai seni, aku mulai sering mengajaknya
untuk menemaniku nonton pagelaran. Karena memang selama ini aku lebih sering
nonton sendirian. Lumayanlah kalau ada teman, jadi ada yang bisa aku ajak
ngobrol dan membahas tentang pagelaran.
Sesampainya
di gedung pagelaran, semua pengujung sudah penuh sesak memenuhi ruangan. Acaranya
sangat meriah. Kami sungguh menikmatinya hingga waktu berjalan begitu cepat dan
tak terasa acara pun usai. Kami juga tak pernah lupa untuk mengabadikannya
dalam sebuah foto. Jepret sana jepret sini.
Sebelum
kembali pulang, aku mengajak Nanda mampir di sebuah rumah makan, mengisi perut
yang sembari tadi kosong karena asyik menonton pagelaran. Dan rumah makan
itulah awal mula dari semua ini.
“Nda,
kamu senang jalan denganku?” tanyaku iseng tanpa maksud apa-apa.
“Iya
senang, Van. Malah lebih dari senang.”
“Aku
menyukaimu, Van.” Ucapnya lirih, lirih sekali.
“Apa?
Gak dengar, Nda.” Aku mencondongkan tubuhku lebih dekat meyakinkan
pendengaranku.
“Eh.
Gak apa-apa kok, Van. Aku gak ngomong apa-apa. Hehe.” Sahutnya sedikit salah
tingkah.
Jelas-jelas
aku mendengarnya tapi apa benar yang dia katakan. Rumah makan yang semakin
ramai menenggelamkan suaranya yang teramat lirih. Dan aku mencoba meyakinkannya
dengan menanyakannya kembali. Mungkin dia malu mengatakannya lagi. Atau dia
hanya sengaja mengerjaiku. Aku yang terlanjur penasaran.
“Apa
benar yang kamu katakan tadi, Nda?”
“Eh
...” Dia tampak kaget dengan pertanyaanku. Mungkin dia tak mengira kalau aku
benar-benar mendengarnya.
“Kalau
memang benar. Kenapa?” Dia balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat serius
menunggu jawabanku.
“Hehe
.... Kamu bercanda ya,” Jawabku.
“Aku
serius Van.” Dengan cepat Nanda menjawab. Kini aku yang tampak kaget. Aku
terdiam mencoba mencerna arti kata-kata itu. Aku memastikan kata-katanya dengan
menatap kedua matanya. Kata orang, “Mata tak bisa berbohong”. Dan benar, tak
ada segurat kebohongan di matanya. Dia benar. Tapi entah kenapa masih ada
keraguan di hati dan ucapan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ucapan yang
menyesal, kenapa aku tak mempercayainya.
“Kalau
memang kamu serius. Ikutlah mendaki denganku. Mendaki Gunung Semeru.”
“Ok.
Aku akan ikut denganmu.” Jawaban yang yang tak pernah aku sangka akibatnya
separah ini.
***
Pagi-pagi
buta aku mendapatinya sudah datang lengkap dengan tas ransel di punggungnya
dimana kami berjanji bertemu. Dia tampak bersemangat sekali. Sangat di luar
dugaanku. Dengan penuh yakin dia menghampiriku menunjukkan kesiapannya. Tapi
kesiapannya justru semakin membuatku cemas. Aku tahu dia tak pernah sekali pun
mendaki. Dan aku juga tahu dia takut ketinggian.
Selama
perjalanan kecemasanku berangsur hilang seiring canda tawa yang terhias di bibirnya.
Senyumnya terlihat manis dan tulus tanpa dibuat-buat. Kami pun akhirnya sampai
ke tempat tujuan. Di kaki gunung Semeru lah perjalanan itu sebenarnya di mulai.
Setapak
demi setapak jalan berliku kami lewati. Kami terjang ranting-ranting pohon yang
menjulang keluar, batu-batu kerikil berceceran, debu-debu yang berterbangan,
serta hewan-hewan kecil yang membuat tubuh terasa gatal. Dan selama itu pula,
Nanda baik-baik saja.
Hari
pun mulai gelap namun perjalanan masih jauh. Kami putuskan untuk berkemah
melepas lelah dan besok pagi akan kembali kami lanjutkan. Tenda-tenda berdiri
siap di tempati. Dan aku membuat api unggun seraya untuk menghangatkan tubuh di
tengah dinginnya udara di hutan. Di situ aku melihat Nanda tampak lelah. Aku
hampirinya mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Kamu
baik-baik saja, Nda?” tanyaku khawatir.
“Iya.
Aku baik-baik saja kok, Van.” Jawabnya sembari tersenyum. Meski begitu aku tak
bisa dibohongi. Dia terlihat pucat.
“Yakin?”
tanyaku kembali sambil menyentuh tangannya. Dingin. Segera tanganku beranjak
lari ke keningnya.
“Kamu
demam, Nda. Sebaiknya kamu istirahat di tenda. Nanti kamu akan aku kompres dan
...”
Belum
sempat aku melanjutkan kata-kataku. Tubuhnya terjatuh. Dengan sigap aku
menangkapnya dan menggotong tubuhnya ke dalam tenda. Nanda pingsan. Aku dan
teman-temanku cemas dengan keadaannya. Selama ini belum pernah kami mengalami
kejadian seperti ini. Ini salahku, kataku menyesal.
Akhirnya
kami sepakat sebagian dari kami saja yang melanjutkan pendakian ini dan
sebagian lagi menemaniku turun dan meminta bantuan warga sekitar mengobati
Nanda sampai pulih.
***
Aku
duduk di dekat ranjang Nanda tertidur. Belum ada tanda-tanda dia akan sadar.
Aku hanya bisa menunggu dan menunggu sambil terus berdoa berharap dia tersadar
dan akan baik-baik saja. Rasa kantuk mulai menjalar membuatku berkali-kali
menguap. Aku tak ingin tidur siapa tahu sebentar lagi Nanda akan siuman. Tapi
kepalaku semakin berat. Aku tundukkan kepalaku di pinggir ranjang dengan tangan
sebagai bantalan. Tak lama aku langsung tertidur mungkin karena terlalu lelah.
Namun beberapa menit tertidur, samar-samar aku mendengar suara memanggil namaku.
Antara nyata dan mimpi.
“Revan.”
Aku
tetap dalam posisi tidur. Tak mengindahkan suara itu. Mungkin ini hanya salah
pendengaran. Tapi panggilan itu semakin jelas dan ada sesuatu yang menyentuhku.
“Revan.”
Sekuat
tenaga aku beranjak bangun. Nanda siuman. Dia kembali berbicara.
“Van,
aku dimana?”
“Kamu
jangan banyak bicara dulu ya. Aku akan panggil mantri untuk memeriksamu.”
Jawabku.
“Gak
usah, Van.” Dia mencegahku, meraih tanganku dan menghentikan langkahku.
“Kamu
di sini saja.” Pintanya. Aku menurut, kembali duduk.
“Maafkan
aku ya, Van. Aku sudah merepotkanmu. Aku sudah membuat acara pendakianmu
berantakan. Aku ...” Dia menangis. Belum pernah aku melihatnya menangis. Aku
tak tega melihatnya. Ini lah kelemahan pria. Pria selalu lemah bila ada wanita
menangis di depannya.
“Kamu
gak perlu minta maaf, Nda. Aku yang salah.” Ku usap air mata yang mengalir di
pipinya.
“Saat
kamu pingsan, aku menyadari sesuatu. Aku tak menyukaimu tapi aku mencintaimu.
Aku takut kehilanganmu.”
Ku
genggam erat tangan Nanda dan dengan lembut ku kecup keningnya. Di sinilah, di
kaki Gunung Semeru janji suci terucap. Janji untuk selalu bersama selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar