SENDIRI
– Part #1
Ada
beberapa alasan kenapa aku enggan mengajak teman bila berpergian. Aku lebih
suka jalan sendiri-mungkin akan terlihat seperti orang hilang. Itu karena, seringkali
aku mendapat penolakan bila mengajak teman untuk hangout. Dengan berbagai macam alasan meski aku tahu alasan mereka
benar dan jujur tapi tetap menyakitkan buatku. Huft, apa aku orang yang tak
asyik di ajak jalan?
Aku
ingin seperti yang lain, bisa jalan rame-rame bersama teman. Berbagi cerita,
tawa canda, bertukar pengalaman serta bernostalgia ria. Ah, alangkah
menyenangkannya. Tak merasa kesepian lagi. Tapi semua itu pupus sudah ketika ku
terima kata “maaf”. Kalian pasti sudah mengerti arti di balik kata itu. Ya,
mereka tak bisa menemaniku.
Hanya
saja aku tak boleh egois. Mungkin mereka sedang sibuk-waktu itu-dan benar-benar
tak bisa menemani. Aku mencoba berpikir positif dan lain kali aku akan
mengajaknya lagi-mungkin saja bisa. Kita punya kehidupan masing-masing, bukan?
Seiring
aku terus berusaha mengajak mereka semakin sering aku mendapat penolakan bahkan
di saat-saat penting, seperti sekarang ini. Aku mendapat undangan acara
peresmian sebuah cafe. Nita, teman yang mengundangku ke acara tersebut
sekaligus pemilik cafe. Sebenarnya aku enggan untuk datang karena cuma Nita
teman yang aku kenal di acara itu. Bayangkan saja, kalian datang ke acara
seorang teman dan hanya seorang diri. Sementara yang punya hajat adalah
satu-satunya orang yang kalian kenal. Nita pasti sibuk menerima ratusan tamu.
“Tik,
ikut aku ke acaranya temanku, Nita, ya?” pint aku
memelas.
“Maaf
Din. Aku gak bisa nemenin kamu. Aku lagi repot. Anakku belum bisa aku tinggalin
sama babysister” Ujar Tika, sahabatku, mengakhiri telepon.
Huft,
percuma saja memaksa. Lagipula aku memakluminya, Tika baru saja melahirkan beberapa
bulan lalu dan Zahra, anaknya, butuh asi eksklusif. Lalu, siapa lagi yang akan
kumintai tolong. Perlahan ku memerhatikan tiap nama yang tertera di phonebook
ponselku sambil mengira-ngira peluang diterima tidaknya ajakanku. Mungkin Dea
bisa, pikirku.
“Maaf
ya, Din. Besok aku lembur, banyak proyek yang harus aku kerjakan. Maaf ya.”
Lagi-lagi
penolakan yang aku dapat. Huft, aku tertunduk lesu. Sahabat-sahabatku saja tak
bisa menemaniku, bagaimana dengan teman yang lain. Tapi apa salahnya bila aku
mencobanya. Toh, kita tidak akan tahu kesempatan-kesempatan itu ada bila kita
tidak mencobanya, bukan. Kuketik sms ke beberapa teman dan send all. Tinggal menunggu balasan.
***
Segar
sekali rasanya bermandikan busa sabun ditemani aroma terapi bunga lavender.
Melunturkan kepenatan dari aktivitas seharian. Sejenak menghilangkan kecemasan
akan berangkat sendiri ke acara tersebut. Ah, pasti ada satu teman yang mau
menemaniku. Masa dari sekian banyak sms yang aku kirim tak ada satu pun yang
nyantol, pikirku positif.
Kukeringkan
badan dan mulai mengenakan gaun yang sudah aku persiapkan. Sembari bermake-up,
aku mengecek ponselku. Kulihat ada gambar amplop tertera di layar ponselku
disebelahnya tertulis angka 10. Itu artinya 10 sms masuk. Dengan secuil
harapan, kubuka sms satu per satu. Tak pernah kubayangkan, ini balasan sms yang
aku dapat. Tak ada satu pun yang bisa menemaniku dan aku menerima banyak ucapan
maaf. Aku tak butuh kata maaf, aku hanya butuh seseorang, makiku dalam hati.
Tak
ada gairah lagi untuk melanjutkan riasanku. Tak akan berpengaruh pada mood-ku. Tipis-tipis kupoleskan lipstik
merah jambu di bibirku. Dan aku teringat seseorang. Kenapa aku tak mengajaknya
saja sambil mengenalnya lebih dekat. Ini bisa jadi alasanku bisa pergi berdua
dengannya. Dengan cepat kupencet nomor Reyhan, pria gebetanku.
“Hay,
Rey.” Sapaku.
“Hay,
Nadin. Tumben? Ada apa?” Tanya Reyhan.
“Kamu
masih ingat Nita? Hari ini, dia meresmikan cafe barunya. Kamu bisa menemaniku?”
Jelasku begitu antusias. Aku berharap sekali Reyhan bisa ikut pergi bersamaku.
Lama
Reyhan tak menjawab. Semenit kemudian, Reyhan mengucapkan sesuatu dengan
hati-hati dan pelan. Dari nada bicaranya, aku sudah bisa menebak apa
jawabannya.
“Eh,
sebenarnya aku ingin menemanimu. Tapi sebentar lagi, aku ada janji dengan klienku.
Dan sekarang, aku sedang menuju perjalanan ke sana.”
“Maaf.
Kalau saja, kamu menghubungiku 15 menit yang lalu, mungkin saja aku bisa
membatalkannya” Lanjut Reyhan.
“Ouh
...” Jawabku kecewa. Dan tanpa pamit, aku tutup teleponnya.
Ah,
sudah jelas. Aku akan berangkat seorang diri. Ya, sendiri lagi. Kutarik napas,
kutahan sepersekian detik dan kubuang perlahan-lahan. Ini caraku merilekskan
diri dan cukup efektif. Aku sedikit tenang.
Kulangkahkan
kakiku menuju garasi. Kupacu montor maticku. Kunikmati setiap laju montorku.
Kupandangi lampu-lampu penerangan jalan. Kulirik lalu lalang kendaraan yang
menyalipku. Dan saat lampu merah, kutertegun melihat segerombolan cewek-cewek
ABG sedang asyik ngobrol sambil menyantap hidangan di sebuah cafe. Aku
tersenyum masam.
“Andai
saja aku bisa seperti mereka.” Gumanku dalam hati.
Andai?
Astaga, aku baru saja mengucapkan kata itu. Kata yang menunjukkan rasa tidak
syukur. Tuhan, ampuni aku. Aku harus bersyukur apa pun yang terjadi bahkan di
saat aku sendiri seperti ini. Bukan kah selama ini aku sendiri? Seharusnya tak
ada yang perlu disesalkan. Aku bisa melewatinya. Sendiri bukanlah hal baru
bagiku. Dan sendiri bukanlah hal yang membatasiku.
Di
dalam kesendirian itu ada keindahan. Keindahan yang mungkin belum kamu sadari
tapi pasti akan menampakkan keindahannya. Dan suatu hari nanti, kamu tak akan
pernah menyesalinya. Boleh jadi, justru kamu mungkin saja akan membodohkan
dirimu sendiri bila kamu terus meratapi kesendirianmu. Sendiri adalah kekuatan
sesungguhnya dalam dirimu.
***
0 komentar:
Posting Komentar